madah-pengelana-di-langit-marrakesh
Suasana Malam di Alun Alun elFna, Marrakech | foto Makhfud sappe
Destination
MADAH PENGELANA DI LANGIT MARRAKESH
By UKIRSARI
Mon, 14 Apr 2025

Pesona Sebuah Kota Kuno Maroko

Sang surya baru saja lingsir ke balik cakrawala. Jemaa el-Fna pun bersolek. Para pedagang yang mayoritas lelaki itu sibuk mendorong gerobak jualannya. Tenda-tenda lalu didirikan, kabel-kabel listrik diurai, dan bohlam dinyalakan. 

Gerai-gerai bersantap di bawah langit terbuka itu pun siap menyambut tetamu. Pendar-pendar lampu seolah bersenyawa dengan asap dan uap aneka hidangan yang berdatangan dari berbagai penjuru. Bulan sabit terlihat jauh di atas sana. 

TERKAIT : Maroko Negara Pertama Yang Mengakui Kemerdekaan AS.

Terdengar kumandang berbagai suara dalam ragam bahasa Arab, Prancis, Inggris, serta banyak lagi tutur kalimat asing dari kaum wisatawan. Sementara penutur cerita lokal berdiri di beberapa sudut, mengisahkan hikayat dalam bahasa Arab atau Berber. 

Seluruhnya bak menyatu bagai simfoni di telinga saya. Tak ubahnya sebuah madah pengelana. Lagu kaum petualang, termasuk saya yang baru tiba di Maroko lewat perjalanan dari bumi Eropa. Inilah potret sebuah alun-alun ternama di Afrika Utara yang sudah disinggahi para pengelana sejak berabad-abad silam.



SEJENGKAL DARI EROPA

Kaki saya melangkah di lorong, di antara tenda-tenda hidangan. Sesekali memberikan jawaban dalam bahasa setempat, ‘’Laa, syukran (Tidak, terima kasih)’’, dan membalas senyum para penjaja yang menyapa untuk singgah di kedai mereka yang menyajikan mulai hidangan nasional Maroko, couscous (semacam semolina) yang dikukus lalu disiram bermacam lauk, seperti ayam, ikan atau daging serta sayur berkuah, tajine yang mirip casserole, hingga berbagai kudapan manis dan teh mint khas. Semua tersedia lengkap. 

Saya berhenti di depan gerai seafood. Maroko diapit oleh dua lautan besar, Samudra Atlantik serta Laut Mediterrania, sehingga membuat warganya tidak asing dalam mengolah hasil laut. Di kedai itu, hasil tangkapan seperti tuna, udang, hingga kerang kulit pipih disusun menarik. Pembeli tinggal memilih. Biasanya kerang-kerang itu dimasak dalam kuah bening kecokelatan yang sarat rempah, beraroma mengundang selera. 

Sampai di kedai sebelahnya, saya tercengang karena menawarkan pemandangan berbeda: deretan kepala kambing mentah. Bahan ini juga siap dimasak jika ada pemesan. Biasanya bersama kacang-kacangan dan apricot, berkuah bening dan saat dilihat sepintas mengingatkan saya kepada sup kacang hijau kambing dari Pasuruan yang bumbunya merujuk resep Timur Tengah. 

BACA JUGA : Pesona Merah Bata : MARAKECH


Penjual Air di  Alun-Alun Jemaa el-Fna. Foto Makhfud Sappe

Dari hiruk-pikuk suasana pasar malam di Jemaa el-Fna, saya bergegas menuju Cafe Argana. Berlokasi di pinggir alun-alun, dari tempat bermenara inilah saya menikmati keramaian itu secara lebih leluasa. Uap hidangan terus mengepul di sana-sini, dengan lampu-lampu tenda berpendar. Hati saya berbisik, “Kita sudah meninggalkan Eropa!”

Memang, perjalanan solo saya menuju Maroko terasa singkat. Dimulai saat berada di Gibraltar yang masuk wilayah United Kingdom, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘’Mengapa tidak menyeberang ke Afrika Utara?” 

Sejauh ini pengalaman saya ke benua Afrika baru menyinggahi Mesir beberapa tahun silam. Jadilah saya naik ferry menuju Tangier, pelabuhan di utara Maroko, dengan durasi sekitar dua jam, dilanjutkan dengan sleeper train (kereta malam dilengkapi bunk bed dan kamar mandi), mirip pengalaman saya saat berkereta dari Kairo menuju Luxor di Mesir. 

Perjalanan dari Tangier melewati Rabat, Ibu Kota Maroko. Saat bangun pagi hari tadi, kaki pun sudah menjejak tanah Marrakesh yang berpagar rangkaian Pegunungan Atlas.

BACA SELANJUTNYA







Share

Popular News

More Latest News