Pertunjukan seni ‘Dark Solanum + (Beyond the Idea of Queerness)’ di Jakarta, 8 Agustus 2025, merupakan sebentuk karya yang sebagian idenya dikembangkan sang seniman, Otniel Tasman, selama masa residensi di Jerman, akhir tahun lalu.
Bagi Otniel yang seorang koreografer, masa residensi di Berlin ini tak hanya ditujukan untuk produksi, melainkan juga sebagai ruang untuk hadir sepenuhnya. Sebuah jeda yang memberi ruang baginya terhadap praktik mendengarkan: pada kota, pada sejarah yang tak tercatat, pada ritme yang asing.
Bulan pertama dari tiga bulan residensi di Berlin dijalani Otniel dengan banyak mendengar, melihat, dan mengalami. Ia membiarkan dirinya terbuka, menyerap atmosfer kota, dan mulai terhubung dengan seniman-seniman lokal.
Pertemuan dan percakapan yang terjadi selama periode ini memperluas jaringannya sekaligus memperkaya fokus riset yang ia bawa dari Indonesia. Yaitu, pencarian terhadap sejarah queer dan subkultur di Berlin.
Pada bulan-bulan berikutnya, ia mulai menggali lebih dalam—bukan hanya soal sejarah, tetapi juga tentang tubuhnya sendiri sebagai seorang lengger yang hidup sementara di Berlin.
Ia menelusuri jejak pertemuan antara Jerman Barat dan Timur, menyusuri kota-kota seperti Hamburg dan Leipzig, mengunjungi situs-situs Perang Dunia II, serta menghampiri makam filsuf Friedrich Nietzsche—sosok yang ia kagumi karena bukunya berjudul ‘The Gay Science’ menjadi titik temu penting dalam pencariannya akan tubuh, kegelapan, dan eksistensi.
Di Berlin, Otniel menemukan konsep queer darkness, yang sebelumnya asing baginya, namun ternyata sangat berkaitan dengan proses eksplorasi lengger yang ia jalani. Kehidupan malam, budaya tekno, dan tubuh-tubuh yang menari dalam ruang kebebasan dan kegelisahan memunculkan berbagai pertanyaan artistik baru.
Sepulangnya ke Indonesia, ia menyadari bahwa proses mendengar, menjelajah, dan meresapi selama di Berlin telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan artistik yang penting dan transformatif. Dari proses inilah lahir gagasan untuk karya ‘Dark Solanum’ yang awalnya berjudul ‘Hermaprodite’ sebagai bentuk refleksi dan penegasan tentang makna keambiguan tubuh dan ruang dalam praktik lengger.' (*)
BACA JUGA : Ketika Lengger Bertemu Kota dan Kegelapan dalam Dark Solanum